jump to navigation

Asal Nama Sunantaya Oktober 29, 2009

Posted by Goes Tu in Sejarah.
add a comment
  1. I.            Asal mulanya bernama Sumantaya-Penebel, sebagai setana Sang Ra Arya Damar bergelar Bhatara Sang Idalem / Arya Dewa Raja Pu Aditya antara lain:
    1. Beliaulah Sang Arya Damar yang terhormat / Sang Aditya Warman pemuja Surya (Suman = Surya, ta = lah, ya = Beliau, Aditya = Matahari, Warman = Pelindung).
    2. Beliaulah Pemuja Sang Hyang Taya sangat letih / Usia lanjut (Suma = letih, n = dia, Beliau, taya = Sang Hyang Taya = Tuhan Yang maha Suci, Tuhan orang Jawa Tulen).
    3. Beliaulah (Sang Arya Damar pemuja Siwa Pasupata) (Suman = Siwaraditya = Siwa Pasupata artinya pemujaan pada Matahari melalui Lingga sebagai Lambang Dewa Siwa, ta = lah, ya = Beliau).
  2. II.            Sunantara artinya:
    1. Saya/Aku bagi Raja berada di tengah-tengah Bumi Bali (Sun = kependekan dari kata Ingsun saya bagi seorang Raja, antara = Tengah).
    2. Yang dijunjung / Bangsawan / Arya (Sang Ra Arya Damar berkekuatan Budi Satwa / Dewi bagi Budha. Sunan berasal dari kata sesuhunan (dijunjung), tara = Budisatwa).
    3. Saya terakhir berada / berkedudukan di tengah-tengah Bumi Bali (Sun = kependekan dari kata Ingsun = saya bagi Raja, antara = di tengah, anta = terakhir, mati, moksa) atau Sang Arya Damar / Arya Dharma dengan bertapa mencapai Moksa di Pura Luhur Batukaru.
  3. III.            Kasunaran artinya:
    1. Memiliki sifat/fungsi untuk member sinar terang/jalan yang terang di dalam kegelapan (Ka…..an = sifat, sunar = suluh = damar).
    2. Berarti tempat atau stana / Pura dan Puri Sang Ra Arya Damar / Bhatara Sang Idalem (1. Damar = Suluh, 2. Berarti Arya Damar kaum Arya yang ikut menyerang Bali tahun 1343 (Ananda Kusuma X61 : 19)
  4. IV.            Sunantaya artinya:
    1. Yang dijunjung / Bangsawan / Arya (Arya Damar) pemuja Sang Hyang Taya, Tuhan Yang Maha Suci
    2. Dewa Siwalah yang dipuja oleh Sang Arya Damar (Sunan = Arya/Bangsawan, ta = lah, ya = Dia, Siwa)
    3. Saya pemuja Siwa yang terakhir (Sun = Ingsun = aku bagai Raja, anta = terakhir, ya = Siwa / Siwasidanta)

Jadi dapat disimpulkan bahwa Sunantaya Penebel yang sekarang adalah tempat sthana Pura dan Puri Sang Arya Damar dengan gelar Bhatara Sang Idalem, identik dengan Arya Dewa Raja Pu Aditya / Sang Aditya Warman yang terakhir mencapai Moksa di Pura Luhur Batukaru yang dicandikan dalam Candi Siwa Budha yang diapit dengan Candi Bala Putranya yaitu :

  1. Arya Ngurah Barak (Ratu Bhatarã di Wayan),
  2. Arya Ngurah Gading (Ratu Bhatarã di Made), dan
  3. Arya Ngurah Yasa (Ratu Layang Petak).

I Gusti Ngurah Kasunaran (Cucu Sang Arya Damar) Oktober 29, 2009

Posted by Goes Tu in Sejarah.
7 comments

Diceritakan cucu sang Arya Damar yang lahir di Bali bernama I Gusti Ngurah Kasunaran / Ratu Ngurah Kesunaran yang dibunuh oleh I Gusti Ngurah Panji Sakti dari Denbukit Singaraja di dalam perlawanannya guna mempertahankan Candi Leluhurnya di Pura Luhur Batukaru yang dirobohkan oleh I Gusti Ngurah Panji Sakti bersama laskarnya maka banyak nama atau julukan cucu Ida Sang Arya Damar putra dari Ida Arya Ngurah Barak / Bhatara di Wayan yaitu:

  1. Asalnya bernama I Gusti Ngurah Kesunaran (Dinas Agama Tk. I Bali No.: M.3455/12/X72:19),
  2. I Gusti Ngurah Sunantara, ucap Alm. Pan Kondri dari Wongaya Gede Tahun 1962.
  3. Ratu Ngurah Kesunaran, tertulis dalam Daksina Wastra Daksina Pelinggih yang munggah di gedong Pedarman dan pengider-ider di Pura Luhur Batukaru : Umanis (galungan, 4 Nopember 1971),
  4. Ratu Ngurah Kesundaran (X68 : 56)
  5. Ida Arya Ngurah Kasunaran pada Buku Pura Luhur Batukaru (X46:h.73)
  6. Ketika I Ratu Ngurah Kesunaran Meninggal dunia di Pura Luhur Batukaru, jenazahnya terdampar dan berlumuran darah. Saat tiba dari Melasti, Ida Bhatara (Ida Bhatara Katon) telah menyaksikan keadaan itu lalu menyebut nama I Ratu Ngurah Kukuh Sakti Sunartara Tampak Baya, jenazahnya (layonnya) diaibkan (dipralina), dan dilanjutkan dengan Upacara Nyuci seperti tersebut diatas (BB. ARDAM.L.36), kejadiannya tahun 1605 (X69:46),
  7. Di dalam Raja Purana Pedarman Besakih disebut Arya Ngurah Tampak Baya ((Raja Purana) / X3.: Pada silsilah, h.17)

Maka pada tahun 1605, jenazah Ratu Ngurah Kesunaran dipralina di sebelah barat Penyengker di Pura Luhur Batukaru dengan telanjang bulat, maka disana ada Pura Bambang, sedangkan busana yang dibawa pada saat beliau meninggal dunia dengan wastra Putih Kuning dan Poleng yang berada di halaman natar Pura Luhur Batukaru, selanjutnya pada hari itu juga setelah matahari terbenam dibuatkan Upacara Nyuci atau Upacara Ҫradha yang didahului dengan Upacara Pemiaktian sebagai Upacara Pemisahan Jasmani dan Atma beliau, selanjutnya dilakukan Upacara Nyuci atau Upacara Ҫradha lengkap yang erat kaitannya dengan pendirian candi atau pedarman Ida Ratu Ngurah Kesunaran yang disaksikan oleh para Pemangku Pura Luhur Batukaru dan Pemangku Keluarga Arya Damar di Sunantaya dan segenap keluarganya di Pura Luhur Batukaru pada tahun 1608, selanjutnya untuk Sthana sebagai Pedharman Ida Ratu Ngurah Kesunaran dibuatkan Gedong Tarib Saka Enam dan sebuah Piasan sake Empat menghadap ke barat di bagian sebelah timur di belakang Balai Semanggen Pura Luhur Batukaru sehingga sampai sekarang dilaksanakan oleh keluarga Arya Damar dari Sunantaya. Segala Aci pembangunan peelinggih Pedarman, perbaikannya dan piodalannya  yang datang setiap enam bulan sekali, tepatnya Hari Umanis Galungan secara turun temurun dilaksanakan oleh Keluarga Besar Arya Damar dari Sunantaya Penebel. Upacara Nyuci (Srada) sampai sekarang tetap dijalankan, maka dengan Upacara Nyuci itu berarti sudah cukup dan rohnya telah sampai kepada tempat yang menjadi titik akhir dari tujuan tiap-tiap roh manusia (Dinas Agama D. Tk. I Bali. 1962:21). Maupun ngaluwer/ngelinggihang Bhatara / Bhatari di Candi Pedharman yang di sabit (di rangkul) oleh Leluhur Ida Sang Ra Arya Damar / Bhatara Sang Idalem dengan Upacara piodalan Nyatur di Pura Batur Sumantaya-Penebel berdasarkan keyakinan dengan hati yang tulus ikhlas.

Dapat disimpulkan ketiga Putra Ida Sang Arya Damar dengan Abiseka Bhatara Sang Idalem yang masing-masing berkedudukan di Bali yaitu :

I.            Arya Ngurah Barak (Betharã Ida Wayan) dengan keturunannya tetap berkedudukan di Sumantaya Penebel atau Jero Puri Sunantaya Kelod, mempunyai dua orang Putra yaitu:

    1. I Gusti Ngurah Kesunaran/Ratu Ngurah Kesunaran, yang juga disebut Ida Arya Kesunaran yang dibunuh oleh I Gusti Ngurah Panji Sakti dari Singaraja di Pura Luhur Batukaru tahun 1605, mempunyai lima orang putra yaitu:
      1. I Gusti Ngurah Gede, dst…
      2. I Gusti Ngurah Sura, dst…
      3. I Gusti Ngurah Tawis, dst…
      4. I Gusti Ngurah Dauh, dst…
      5. I GUsti Ayu Kesunaran, kawin dengan I GUsti Bagus Panji dari Buruan.
      6. I Gusti Made Rai (Ratu Ngurah Made Rai), adik dari I Gusti Ngurah Kesunaran/Ratu Ngurah Kesunaran yang merupakan Raja Penebel yang mempunyai 3 orang putra yaitu:
        1. Ratu Ngurah Bagus,
        2. Ratu Ayu,

Keduanya diceritakan bersama Ayah dan Ibunya meninggal dunia saat perang Penebel pada   pertengahan Abad XVII.

3.  Sedangkan yang bungsu, yang sedang menyusui pada saat itu diambil (diambit) oleh salah seorang abdi dari Tabanan dan dibawa ke Kerambitan, dan kemudian menurunkan Keluarga Puri Kerambitan dst…

Dan memiliki dua Puri yaitu:

  1. Puri Sunantaya, dihancurkan dan pintunya dibawa ke Belayu,
  2. Puri Penebel Kota, dihancurkan pada perang Penebel tersebut diatas.

 

II.            Arya Ngurah Gading (Betharã Ida Made) berangkat ke Tabanan, Puri Gede Tabanan dengan menggeser Dukuh Pelet ke Banjar Gerogak Tabanan. Ida Arya Ngurah Gading mempunyai Putra yang disebut Bethara Katon dst…

III.            Arya Ngurah Yasa (ratu Layang Petak).

Kisahnya sangat panjang, berangkat dari Pura Luhur Batukaru menuju Danau Batur, berhasil mengantarkan seorang nenek untuk menyeberangi Danau Batur dan kemudian diberi hadiah sebuah Tulup. Selanjutnya dalam perjalanannya bertemu dengan seorang kakek yang sedang membajak dan kemudian diberi hadiah sebuah Pecut, sehingga berhasil membunuh Guak Putih (Anglayang Petak). Layang Petak sama dengan surat berkaitan dengan perjalanan untuk bertemu mohon ijin dengan ayahnya Ida Sang Arya Damar, namun sayang beliau sudah mencapai Moksa di Pura Luhur Batukaru kurang lebih tahun 1476 Masehi. Akhirnya dengan membawa Tulup dan Pecut, beliau berhasil membunuh musuh Raja Tanah Badeng (Raja Badung) rupanya Arya Tegeh Kuri, rupanya Puri Satrya yang sekarang timbul pergolakan dalam perlawanan, bila Pecutnya dikipaskan maka keluar api dengan demikian timbul perdamaian. Wilayah kekuasaan Raja Tanah Badeng dari sebelah Barat Tukad Badung sampai perbatasan Mengwi, diserahkan kepada Arya Ngurah Yasa (Ratu Layang Petak). Kemudian beliau berhasil mendirikan Puri Pemecutan Badung, dst…

Perjalanan terakhir Arya Damar (III) Oktober 29, 2009

Posted by Goes Tu in Sejarah.
add a comment

Selanjutnya Arya Damar mengangkat dirinya sebagai Maharaja Diraja di Sumatra dan di Majapahit bergelar Arya Dewa Raja Pu Aditya / Werda Menteri. Adapun urutan Raja Majapahit selanjutnya adalah Raja Majapahit IV adalah Hayam Wuruk (1350-1389), Raja Majapahit V adalah Wikrama Wardana (1389-1427), Raja Majapahit VI adalah Rani Suhita (1427-1447). Pada tahun 1447, Diah Suhita ditundukkan oleh Suraprabawa. Pada tahun ini juga kakak Diah Suhita yaitu Kertha Bumi dapat mengalahkan Diah Suraprabawa, sehinnga Kertha Bumi naik tahta menjadi Raja Majapahit VII yang merupakan Raja Terakhir Majapahit (1447-1478). Istri Raja Kertha Bumi yaitu Putri Campa Dwarawati mandul dan tidak suka dimadu dengan Aryati Sekarwangi karena dihasut oleh Demang Kaliwon (Buya 1984 : 10). Oleh karena itu Raja Kertha Bumi menghadiahkan Permaisurinya yaitu Aryati Sekarwangi yang sedang mengandung kepada Sang Arya Damar di Palembang dan kemudian melahirkan seorang bayi yang kemudian diberi nama Raden Patah. Permaisuri itu kemudian diambil oleh Arya Damar (Swanliong / Naga Berlian) dan memperoleh anak bernama Raden Kusen dan yang bungsu disebut Ananga Warman (Nugroho N. 1984 : 85).

Pada tahun 1474, Sang Arya Damar ingin mengangkat Putranya Raden Patah menjadi Raja di Palembang dan adiknya Raden Kusen menjadi wakil, tetapi Raden Patah menolak niatnya karena masih muda dan belum mempunyai kemampuan untuk menjadi Raja. Akhirnya Raden Patah yang diikuti oleh Adiknya Raden Kusen pergi ke Jawa menuju Keraton Majapahit dan diterima oleh Raja Kertha Bumi. Raden Kusen kemudian diangkat menjadi Bupati Terung, sedangkan Raden Patah ditempatkan di Bintara, namun mulai kena pengaruh Agama Islam. Pada Tahun 1475, Sang Arya Damar, Udaya Ditya Warman meninggalkan Palembang menuju tempat asalnya di Bali Tengah bertemu dengan keluarganya di Sumantaya-Penebel, karena ia yakin anak angkatnya yaitu Raden Patah masuk Agama Islam.

Ajaran yang dianut oleh Sang Arya Damar/Aditya Warman di Bali dengan Abiseka Bethara Sang Idalem Identik dengan gelar Arya Dewa Raja Pu Aditya. Di Sumatra bergelar : Maharajadhiraja (Prasasti Bukit Gobak / P. Pageruyung (X2 : 72)), dan di Sumatra Aditya Warman / Sang Arya Damar di Pageruyung pada tahun 1347 bergelar Maharajadhiraja (R. Soekmono. II. 1973 : 7i).

Beliau adalah penganut ajaran Hindu dengan prinsip Siwa Budha Tattwa (Kebenaran Weda) menegakkan Dharma memperoleh ketenangan dan kebahagiaan lahir-bathin dalam kehidupan sekarang maupun kelak di akhirat, yang disebut Jagadhita dan Moksa, atau dapat bersatu/awor kembali dengan Sang Hyang Widhi / Sang HyangTaya / Sang Hyang Tunggal / Tuhan Yang Maha Esa (Brahman Atman Aikhyam).

Ada 3 macam Moksa, yaitu:

  1. Moksa yang berarti kematian atau atma telah meninggalkan badan kasar,
  2. Moksa yang masih meninggalkan seperti tulang, pakaian dan lainnya (Adi Moksa), contohnya seperti moksanya cucu Ida Sang Arya Damar yang bernama I Gusti Ngurah Kesunaran yang juga disebut Ratu Ngurah Kesunaran / Ida Arya Ngurah Kesunaran yang masih meninggalkan busana Putih Kuning dan Poleng di Natar Pura Luhur Batukaru,
  3. Moksa yang tanpa bekas, yang artinya dengan kekuatan adnyananya atau kekuatan bhatinnya yang mampu membakar dirinya tanpa bekas inilah yang dimaksud tujuan moksa tertinggi yang ingin dicapai oleh Ida Sang Arya Damar. Bethara Sang Idalem yang juga disebut Ida Bethara Sakti Luhur Batukaru sebagai tokoh Sejarah dan juga penganut ajaran Hindu Siwa-Pasupata dan Budha Lokeswara (Siwa-Budha), system Kalacakra (Punarbhawa) dan Upacara Nyuci serta Pamiaktyannya identik dengan Upacara Sradha di Majapahit tahun 1362, oleh Raja Hayam Wuruk yang bertujuan untuk menyucikan roh leluhur, sehingga atma dapat kembali pada Sang Hyang Taya / Sang Hyang Tunggal / Sang Hyang Widhi, kajenengan Bhatara. Maka dinyatakan dia penganut Hindu prinsip Siwa Budha Tattwa dan diwariskan secara turun temurun kepada perti sentananya / keturunan Ida Sang Arya Damar sendiri yang disebut Keluarga Besar Arya Damar di Jero Puri Sunantaya Kelod – Penebel dan sampai sekarang masih dilaksanakan.

Arya Damar dalam Penyerangan di Bali (II) Oktober 29, 2009

Posted by Goes Tu in Sejarah.
3 comments

Untuk merebut kembali daerah kekuasaannya yang hilang terutama BALI, pada tahun 1324 Arya Damar (Bhatara Sang Idalem), Patih Gadjah Mada diutus ke Bali untuk menumpas dan menundukkan Raja Bali dengan mendirikan benteng pertahanan di Pura Batur Sumantaya – Penebel.

Pada Serangan pertama, Ki Kebo Iwa dapat dibawa ke Majapahit dan dibunuh. Hal ini tertulis dalam buku Sejarah Bali Radjya hal 13, 14, 15 yang berbunyi “Dening saking wiwekan sire Patih Arya Damar sareng Patih Gadjah Mada tahun 1324 nunas Ki Kebo Iwa ring Ide Sri Bedemuke (Raja Bedahulu) raris kapice Ki Kebo Iwa, serawuh dane ring Majapahit null kabiseka kasedayang” dan ada beberapa buku yang menyebutkan seperti itu.

Pada penyerangan kedua pada tahun 1343, Ida Sang Arya Damar dan Patih Gadjah Mada meyerang Bali dengan mendirikan Benteng di tengah-tengah Bumi Bali yang disebut Pura Luhur Kauh/Puseh sebagai titik sentral Majapahit dengan mendirikan Lingga Yoni Trilingga (Siwa, Sada Siwa, Parama Siwa) yang bersifat vertical dan horizontal (Brahma, Wisnu, Iswara, dst.) yang berkembang menjadi Asta Dewata sebagai lambing Budha Lokeswara, artinya Budha khusus sebagai penjelmaan Dewa Iswara, seperti yang dianut oleh Raja Sang Arya Damar (Arya Dewa Raja Pu Aditya).

Penyerangan dilakukan dan dibagi menjadi dua kelompok yaitu Bali Utara oleh kelompok Arya Damar (Arya Sanak Pitu) pada hari Sabtu Kuningan tahun 1343 dan Bali Selatan oleh kelompok Gadjah Mada bersama Arya Kenceng, Arya Kanuruhan, Arya Pengelasan, dll. Arya Damar berhasil membunuh Pasung Giri dari Ularan, dan pasukan Arya Damar pun banyak yang gugur. Pada waktu itu, pasukan Gadjah Mada tidak melakukan penyerangan dan hanya menghuni pondok dan berjaga-jaga. Setelah Arya Damar menang, ia pun langsung ke Majapahit.

Peperangan tahap ketiga yang paling dahsyat dimana ikut turun ke Bali yaitu Raden Cakradara dan langsung menyerang Bedahulu. Pertempuran pun berkecamuk, dimana prajurit Majapahit disebutkan kira-kira 20 ribu prajurit tewas dalam pertempuran tersebut. Namun pada pertempuran tersebut Maya Denawa (Raja Bedahulu) direbut, sehingga dapat dikalahkan dan ditikam dengan keris dan akhirnya gugur.

Pada tahun 1343, bersama Arya Satria Majapahit, Arya Damar dan Gadjah Mada mengatur siasat dengan melakukan pembagian tugas penyerangan yaitu :

  1. Arya Damar di bagian Utara menyerang Petemon,
  2. Arya Sentong di Pacung untuk menyerang Patih Buan,
  3. Arya Beleteng di Selatan untuk menyerang Walung Singkal di Taro,
  4. Arya Kuta Waringin di bagian Selatan menyerang Tumenggung Giri Kemana,
  5. Arya Tan Wikan di Bagian Bali Tengah menyerang Patih Gudug Basur,
  6. Arya Kepakisan di Timur Laut menyerang Tunjung Biru di Tenganan, dan
  7. Arya Benculuk di bagian Tengah menyerang Pasung Grigis di Tengkulak.

Secara mutlak, pertempuran dimenangkan oleh pasukan Gadjah Mada dan para Arya Majapahit, dimana dengan tipu muslihat Gadjah Mada dan Arya Damar akhirnya Krian Pasung Grigis menyerah, dan secara otomatis Bali Age sudah takluk dan selanjutnya Ki Pasung Grigis dibawa ke Majapahit dan diserahkan oleh Arya Damar bersama Arya Kenceng. Arya Damar juga melaporkan kehadapan Raja Majapahit (Tribuana Tungga Dewi) mengenai jumlah prajurit yang masih hidup yang dikumpulkan ke Kentel Gumi. Baginda lalu menyuruh Arya Damar untuk membagikan rakyat miliknya sesuai dengan tanggung jawabnya antara lain:

  1. Arya Damar di Tabanan (tepatnya di Desa Sumantaya-Penebel (Sunantaya sekarang) dengan rakyatnya 40 ribu dan Sang Prabu mendapatkan 80 ribu,
  2. Arya Beleteng di Penatih dengan rakyatnya 5 ribu,
  3. Arya Sentong di Carang Sari dengan rakyatnya 10 ribu,
  4. Arya Kuta Waringin di Kapal dengan rakyatnya 5 ribu,
  5. Arya Tan Wikan di Kaba-Kaba dengan rakyatnya 40 ribu,
  6. Arya Kepakisan di Abiansemal dengan rakyatnya 5 ribu,
  7. Arya Benculuk di Benculuk dengan rakyatnya 40 ribu dan Ki Kuda Pengasih, Pinakawan, Pakatik/Sinuha masing-masing 2 ribu (X34.L : 7.8)

Dalam Purana Arya Saptasanak Dharma Besakih juga menyebutkan pada halaman 13, bahwa setalah habis rapat di Pura Kentel Gumi, Gadjah Mada bersama 91 ribu rakyatnya kembali ke Majapahit dan yang lainnya menetap di Bali sesuai dengan perintah Raja Majapahit seperti tersebut diatas. Dan dinyatakan pula Sang Arya Damar sebagai peminpinnya. Musyawarah di Kentel Gumi di Tusan Banjarangkan, selain membagikan tugas juga merencanakan pembuatan Meru tingkat 11, Bale Panjang dan Lumbung di Pura Besakih, sebagai peringatan berhasilnya mengalahkan Raja Bedahulu dan menundukkan Rakyat Bali atas anugrah Sang Hyang Widhi Wasa. Meskipun ditentang oleh  Gadjah Mada dengan alasan sama-sama orang Majapahit. Karena kuat dan kukuh pendiriannya, sehingga Arya Damar dijuluki ARYA KUKUH. Dalam pertemuan tersebut jugamerencanakan untuk mengangkat Raja Bali dari Para Arya Sanak Pitu dan Arya Damar disetujui sebagai Raja Bali, tapi hal ini tidak diterima oleh Patih Gadjah Mada. Namun hal itu tidak menyurutkan niat Arya Damar untuk melanjutkan Pembangunan di Pura Besakih yang tersebut diatas. Selesai membangun bangunan di Pura Besakih, Arya Damar kembali berkedudukan di Sunantaya/Sumantaya-Penebel (angrakseng Sunantara, tan lian Sang Ra Arya Damar).

Selanjutnya pada tahun:

  • 1345 timbul pemberontakan di Ularan oleh Tokawa (Putra Raja Bedahulu) di Belingkang, Tunjung Tutur sebagai pendamping dan dapat dimusnahkan oleh Sang Arya Damar/Arya Kukuh (AWG.DS.ADAT.1975 :19)
  • 1347 juga terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh orang-orang Bali Age yang dikepalai oleh Makam Bika (Anak Tokawa), karena hak-haknya dikurangi dan jabatan-jabatan penting dipegang oleh Majapahit. Pada saat itu Gadjah Mada mengirim tentara Pasundan yang dikepalai oleh Sang Arya Damar. Akhirnya Rakyat bali Age dapat ditaklukannya, namun ada beberapa rakyat Bali Age yang tidak takluk dan mereka melarikan diri ke pegunungan. Maka berakhirlah Raja-Raja turunan Masula-Masuli atau tidak ada lagi kerajaan Bali Age.

Selanjutnya menceritakan tentang Prasasti Kawalasan yang menyebutkan bahwa ketika Majapahit menggempur Bali, bahwa orang yang masih hidup dalam pertempuran tersebut sebanyak 156 ribu orang, lascar Arya Kenceng masih 3.600 orang, lascar para Patih Majapahit yang masih hidup sebanyak 10.600 orang dan semuanya menetap di Bali. Sebagai cirri-cirinya orang asal Majapahit adalah mereka merayakan Sugihan Jawa, sedangkan Bali Asli merayakan Sugihan Bali. Atas permintaan Gadjah Mada yang mohon kepada Raja Majapahit, maka Arya Damar dipindahkan ke Sumatra dengan berstana di Kraton Pagaruyung tahun 1347 setelah dapat menguasai seluruh Sumatra (Melayu Pura).

SEJARAH ARYA DAMAR (I) Oktober 29, 2009

Posted by Goes Tu in Sejarah.
4 comments

Pada Prasasti Arya Kenuruhan maring Bali Dwipa disebutkan : “Sira Arya Damar Sire Juge Mebiseka Aditya Warman” (Reji 1984: 1/X55). Artinya : “Beliau Arya Damar juga Beliau bernama Aditya Warman”.

Dijelaskan dalam Babad Keluarga Arya Damar di Sunantaya pada lembar 7a disebutkan: “Wijahandikanira Sang Prabu, ring Sang Arya Damar, maring sira yayi Arya Damar Arya Kenceng. Kakasihan nira Jumeneng Patih Ingsun Ring Bangsul, Sira Juga Yayi Sadede Singgih Ingsun…” dan seterusnya. Artinya : “Sabda Sang Prabu (Tribuwana Tungga Dewi) kepada  Sang Arya Damar, adikku Sang Arya Damar yang saya cintai ditemani Arya Kenceng menjadi Pepatih saya di Bali. Adikku juga sekeluarga dengan saya”.

Juga pada lembaran Pertama disebutkan : “Iki Peling ira Sang Nata Saking Wilatikta Kedaton iraring alastrikring arin nira Sang Arya Damar, akadaton ring Tulembang Jumeneng ikang rat, maring ikang Ratu ring Sunantara, Anggawula ring Wilatikta, hana putran ira ratu anom : Anom-Anom prawiraika, angrakseng Sunantara, tan lian, Sang Ra Arya Damar, agenu abawa rasa ring Patih Gadjah Mada “ (X34 : 1.3). Artinya : “Inilah Perintah/sabda Raja yang berstana di Majapahit (Alas Trik) kepada adiknya Sang Arya Damar yang menjadi Raja berstana di Palembang (Sumatra) tetapi mengabdi di Majapahit, ada putra beliau (Sang Arya Damar) yang masih muda-muda (Arya Ngurah Barak, Arya Ngurah Gading, Arya Ngurah Yasa) beliau-beliau itu amat perkasa dan yang berkedudukan di Sunantara/Sumantaya Penebel (Sunantyaya sekarang) yang memegang kekuasaan tidak ada lain dari yang terhormat SANG ARYA DAMAR”.

Raja pertama Majapahit (Raden Wijaya) Kertharajasa Jaya Wardana, beliau kawin dengan empat orang wanita. Diantaranya Putri Kertha Negara Raja Singosari yang bernama : Tribuwana dan Raja Patni. Pada tahun 1293 mengambil 2 Istri lagi yaitu Putri Melayu yang bernama Dara Jingga dan Dara Petak. Diceritakan, Dara Jingga melarikan diri (karena difitnah) dalam keadaan mengandung, dan diambil oleh salah satu dari keluarga Raja Mauliwarmadewa yang bergelar Bethara Siwa di Melayu (dalam Pararaton Dara jingga Alaki Dewa). Sembilan bulan kemudian  Dara Jingga melahirkan seorang bayi laki-laki dan pada saat bayi itu lahir, ada sinar yang menyala di ubun-ubunnya sehingga bayi tersebut diberi nama ARYA DILAH / Arya Damar pada tahun 1294. Dia merupakan keturunan Sri Muliwarman Raja di Sumatra (X77 : 84).

Pada usianya ke-14 (tahun 1308), ia datang menemui Ayahnya Raden Wijaya. Kedatangannya tidak diakui sebagai anaknya sebelum mampu melaksanakan ujian dari Raden Wijaya, antara lain yaitu menumpas para pepatih yang berkuasa di Palembang (Sumatra). Atas keampuhan dari keris yang bernama Sanghyang Tiga Sakti yang diberikan oleh Ibunya sehingga mampu melaksanakan ujian dari Raden Wijaya. Maka Arya Dilah diakui sebagai anaknya dan namanyapun diganti dengan ARYA DAMAR.

Karena jasanya maka ARYA DAMAR diangkat menjadi Raja di Palembang di bawah kekuasaan Majapahit. Pada tahun 1308, Arya Damar kemudian dikawinkan dengan putri Cukim dari degeri Cina yang disaksikan oleh rakyatnya di Sumatra dan wakil dari Majapahit yaitu Patih Bagah, Patih Waham, Patih Demung Kalungsur dan diberikan mas kawin berupa Porcelin (Piring Kuno dari Cina) dan lainnya yang sampai sekarang masih disakralkan oleh keluarga Arya Damar di Sunantaya. Mengenai kelahirannya, Arya Damar lahir pada tahun 1294 Masehi yang seumuran dengan kelahiran sepupunya yaitu Raja Jaya Negara, dimana hanya tempat kelahirannya yang berbeda dimana Raja Jaya Negara lahir di Majapahit.

Perkawinan Arya Damar dengan Putri Cukim melahirkan Putra antara lain :

  1. ARYA NGURAH BARAK (Ratu Bhatãra di Wayan)
  2. ARYA NGURAH GADING (Ratu Bhatãra di Made)
  3. ARYA NGURAH YASA (Ratu Layang Petak)

Tiga Putera Sang Arya Damar disebut : Ngurah Barak, Ngurah Gading dan Ngurah Yasa (Rajapurana / X3:9)

Raden Wijaya mengkat (wafat) tahun 1309, maka Putranya Kala Gemet di angkat menjadi Raja Majapahit bergelar Sri Jaya Negara mulai tahun 1309 – 1328. Selama Jaya Negara memerintah, banyak kehilangan daerah kekuasaannya antara lain BALI, BLAMBANGAN dan BANYUWANGI. Selanjutnya, yang memiliki hak yang kuat untuk naik tahta Majapahit adalah GAYATRI (Raja Patni). Tetapi Gayatri telah menjadi Pertapa sehinnga diwakili oleh Putrinya yaitu Tribhuwana Tungga Dewi Jaya Wisnu Wardani yang telah bersuamikan Raden Cakra Dara (Krta Wardana), putranya adalah Hayam Wuruk.

Dinyatakan dalam Prasasti Manjusri bahwa Arya Damar (Adityawarman) adalah turunan Raja Patni (dijadikan anak angkat) melalui alur ayahanda Raden Wijaya dipersaudarakan dengan anak Raja Patni (Tribhuwana Tungga Dewi dan Dyah Wyat Srirajadewi) karena tidak mempunyai keturunan laki-laki. Maka dari itulah Arya Damar mempunyai kedudukan tinggi di Majapahit.